“Kalian berlima mau ke mana?” tanya saya. Emak-Emak Mandiri
“Ke Shanghai, Chongqing, Chengdu, Bi Peng Guo, dan Guangzhou,” jawab salah seorang dari lima ibu muda itu.
“Semua dapat izin suami?”
“Tentu,” sahut satunya.
Yang dua sudah pernah sekali ke Tiongkok. Yang tiga baru kali ini.
“Pakai travel apa?”
“Kami atur sendiri. Yang cari tiket saya. Cari-cari yang termurah. Yang cari hotel dia,” jawab yang lain lagi.
Mereka itu emak-emak muda dari Yogyakarta. Mereka disatukan oleh anak mereka yang sebaya. Sebagian anak mereka sama-sama sekolah SD di Al Azhar, Yogyakarta. Sebagian lagi dipersatukan oleh kelompok pengajian. Karena itu semuanyi berjilbab. Ada yang baca Quran ketika pesawat sudah terbang.
Mereka berangkat ke Hong Kong lewat Surabaya. Pakai Cathay Pacific. Pulangnya nanti lewat Jakarta. “Sebenarnya pulangnya pun ingin lewat Surabaya. Tapi yang lewat Jakarta harga paketnya lebih murah,” katanyi.
Mereka begitu cermat membanding-bandingkan harga tiket. Termasuk menemukan di tanggal berapa dan bulan apa harga tiket termurah. “Penginnya berangkat awal Oktober. Tapi harganya sudah naik banyak,” katanyi.
“Kalian kan lima orang. Bagaimana pengaturan kamar hotelnya?”
“Kami cari apartemen,” katanyi. Salah seorang emak itu ahli dalam menjelajahi internet. Sampai ditemukan apartemen apa yang paling baik dan murah.
Di Tiongkok memang banyak apartemen yang disewakan. Umumnya tiga kamar tapi kamar mandinya satu. Ada mesin cuci. Dapur.
Dua di antara emak muda itu alumnus Universitas Islam Indonesia. Yang tiga alumnus Universitas Gadjah Mada. Jurusan kuliah mereka tidak ada yang sama: sospol, ekonomi, manajemen, geodesi, satunya saya lupa.
Lokasi-lokasi yang akan mereka kunjungi pun mereka cari sendiri di medsos. Utamanya TikTok. Di Shanghai mereka akan ke The Bund, Nanjing Dong Lu, Xin Tian Di.
Kok mereka tahu semua ya.
Bahkan mereka akan ke surganya Tiongkok –yang saya pun belum pernah ke sana: Bi Peng Gou. Saya pernah ke beberapa tempat sekitar situ, tapi belum pernah ke Bi Peng Gou-nya sendiri.
“Itu Swiss-nya Tiongkok,” ujarnyi seolah menganggap saya belum tahu Tiongkok.
Salah satu spot pemandangan di Bi Peng Gou.–
Letak Bi Peng Gou di pegunungan Kunlun, dekat Shangri-La. Dekat Li Jiang. Dekat Jiuzhaigou (九寨沟). Yang tiga itu saya pernah ke sana. Semuanya di pegunungan Kunlun. Di kawasan antara Sichuan-Qinghai-Tibet. Jauh sekali. Tinggi sekali. Ketinggiannya antara 2000-5000 meter.
“Dari Chengdu kami akan naik mobil selama empat jam,” katanyi. Chengdu adalah ibu kota provinsi Sichuan. Berarti mereka itu menjelajah mulai pantai timur, Tiongkok tengah sampai barat dan selatan.
“Bagaimana bisa tahu semua itu?”
“Kami ikuti pembicaraan di komunitas backpacker internasional. Mereka saling berbagi info dan pengalaman,” katanyi.
“Kenapa pilihan kalian ke Tiongkok?”
“Saya lihat Tiongkok kok maju sekali. Padahal saya dulu benci…,” katanyi.
Di penerbangan ke Hong Kong itu saya dapat tempat duduk sederetan dengan mereka. Jadinya agak berisik. Apalagi ada yang minta membuat video agar saya kirim nasihat kepada anak mereka.
“Anda punya jilbab berapa di rumah Anda?”
“Tidak tahu…tidak dihitung”.
“Seratus? Lebih?”
“Ya nggaklah…tapi entahlah,” jawabnyi.
“Istri saya mungkin punya 1.000 jilbab…” kata saya –agak ngawur gaya wartawan memancing jawaban.
“Kalau dijumlah sejak dulu mungkin saya pun punya segitu. Tapi setiap beli tiga yang baru tiga yang lama dilepas,” jawabnyi.
“Saya juga begitu,” timpal satunya.
“Saya juga,” satunya lagi.
“Ibu mertua saya seperti istri bapak…” katanyi.
Dahlan Iskan dengan “para emak” backpacker yang sedang transit di Hong Kong. Mereka akan berpetualang ke Tiongkok.–
“Oh… Berarti ada juga yang seperti istri saya”.
“Mungkin ibu punya cerita di tiap jilbab beliau. Jadi tidak mau dilepas…”.
Oh… begitu. Saya pun memaklumi istri. “Makanya ketika saya sarankan agar yang lama-lama dibuang beliau marah…”.
“Kalau beliau marah Bapak gimana?”.
“Saya langsung diam. Nggak pernah lagi menyarankan itu.”
“Itu sikap yang bagus. Berarti bapak tahu prinsip-prinsip wanita”.
“Prinsip wanita itu apa?”
“Prinsip pertama, wanita itu selalu benar. Prinsip kedua, kalau wanita itu salah harus kembali ke prinsip pertama…”.
“Berarti wanita tahu juga ya semua omongan para suami?”
“Ya..tahulah. Tapi memang harus begitu,” ujarnyi.
Kami pun berpisah di bandara Hong Kong. Mereka transit ke Shanghai. Saya transit ke Syria. Saya harus lewat Hong Kong karena ada pertemuan kecil di sana.
Mereka tidak bisa bahasa Mandarin. Tidak punya teman di Tiongkok. Tidak ada penunjuk jalan. Emak-emak itu begitu mandirinya. Pun ke daerah yang jauh-jauh begitu.
Itulah emak-emak masa kini. Saya juga sering melihat grup ibu-ibu muda seperti itu di kereta cepat Jakarta-Bandung. Sesama anggota pengajian. Mereka rekreasi ke Bandung. Untuk wisata kuliner. Sorenya balik lagi ke Jakarta.
Di saat saya di penerbangan ke Hong Kong itu, saya dapat kiriman video dadakan dari Kang Sahidin. Istri saya terlihat lagi semobil dengan empat ibu pengajian. Mereka karaokean di mobil dalam perjalanan kuliner ke Solo –tidak mau kalah dengan lima emak muda dari Yogyakarta.(Dahlan Iskan)